JAKARTA - Resmi, Ridwan Kamil, GubernurJawa Barat masuk ke partai Golkar (18/1/2023). Meski dibesarkan oleh Nasdem melalui tiket pilgub Jabar 2018, namun pilihan politik Ridwan Kamil justru ke Golkar.
Apa pertimbangan Ridwan Kamil ke Golkar, bukan ke Nasdem? Apakah itu inisiatif dan pertimbangan Ridwan Kamil sendiri, atau ada pertimbangan yang lain? Publik mulai berspekulasi.
Baca juga:
Zainal Bintang: Mafia Minyak Goreng Itu….
|
Spekulasi publik makin terbuka ketika nama Ridwan Kamil mendadak muncul di survei Litbang Kompas sebagai capres alternatif. Ini kebetulan, atau by design? Lagi-lagi, ini mendorong publik semakin tertarik untuk melakukan spekulasi.
Tak ada sesuatu yang kebetulan. Apalagi dalam politik. Ibarat bermain catur, selalu muncul langkah dan strategi baru. Gagal mainkan banteng, kuda dimainkan. Sesekali pion, untuk mengecoh lawan, sekaligus membuka penyerangan baru. Berpolitik, gak ubahnya bermain catur.
Nah, masuknya Ridwan Kamil ke Golkar, lalu muncul survei Litbang Kompas, boleh jadi ini bagian dari strategi baru. Seiring dengan makin menipisnya harapan bagi Ganjar untuk mendapatkan tiket, Prabowo didorong untuk maju. Pasukan mulai digiring ke Prabowo untuk membantu dan memberi dukungan. Tapi, elektabilitas Prabowo nampak belum terangkat. Muncul Ridwan Kamil sebagai capres alrernatif. Kompas mulai memainkan kemunculannya.
Apakah dengan munculnya Ridwan Kamil sebagai capres alternatif, ini sebuah persiapan untuk menggusur Airlangga sebagai ketum Golkar? Sebelumnya, Munaslub Golkar sempat diramaikan dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sebagai tokohnya. Wacana itu gak lama meredup. Lalu muncul Ridwan Kamil.
Di sisi lain, Airlangga dianggap gagal mengkonsolidasikan koalisi untuk melahirkan capres 2024. Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) gak berhasil membujuk Ganjar. Akibatnya, KIB juga gagal menarik partai lain untuk bergabung. Keburu Koalisi Perubahan terbentuk oleh Nasdem, Demokrat dan PKS. Ungkapan Airlangga beberapa bulan lalu bahwa ada partai yang akan bergabung ke KIB, tak terbukti.
Di sisi lain, elektabilitas Airlangga stagnan, dan tidak mengalami kenaikan. Meski upaya untuk melakukan branding begitu produktif dan masif. Nama Airlangga belum juga mendapat respon positif.
Setidaknya ada tiga kegagalan Airlangga. Pertama, tidak berhasil melahirkan capres di KIB. Kedua, elektabilitas Airlangga tidak signifikan, padahal Golkar adalah partai besar. Ketiga, Airlangga tidak bisa mengendalikan arus bawah yang cenderung memberi dukungan kepada Anies. Mirip seperti Suharso di PPP.
Apakah nasib Airlangga akan seperti Suharso? Tepatnya di-Suharso-kan? Segera di-PLT-kan dan diganti oleh Ridwan Kamil? Apalagi, popularitas dan elektabiltas Ridwan Kamil lebih tinggi dari Airlangga. Basis massa Ridwan Kamil di Jabar cukup signifikan, seiring posisinya sebagai gubernur di Jabar.
Dalam politik, tak ada yang tak mungkin. Pertarungan jelang 2024 semakin keras. Perubahan strategi bisa muncul mendadak. Termasuk mengganti Airlangga dengan Ridwan Kamil sebagai ketum Golkar. Lalu memainkan Ridwan Kamil di Jawa Barat, yang kebetulan juga menjadi basis Anies dan PKS.
Kita tunggu apa yang akan terjadi antara Airlangga dan Ridwan Kamil di Golkar jelang pilpres 2024.
Jakarta, 25 Pebruari 2023
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa