ARAFAH - Sore itu, matahari terbenam dari Ufuk Barat pertanda hari Arafah, 9 Dzulhijah telah masuk. Bersamaan, terdengar adzan dari pengeras suara terbatas Sholat magrib pun dilakukan berjamaah di dalam tenda.
Arafah bagaikan, perkampungan tenda di padang pasir, tenda warna putih itu dapat menampung seratus lebih jamaah. Jamaah-jamaah berbaju ihram - putih.
Baca juga:
Rudi Lantik PD DMI Kabupaten Lingga
|
Terdapat ribuan tenda disusun per-blok tertata rapih, dibatasi jalan beraspal, terlihat putih semua.
Arafah merupakan padang pasir dikelilingi bukit batu dengan luas 3, 5 Km kali 3, 5 Km berbentuk setengah lingkaran terdapat sebuah Masjid, Namirah namanya.
Usai sholat makanan dibagikan dalam bentuk kotak kardus untuk setiap jamaah, lengkap dengan buah - minuman dalam kemasan. Ada beberapa jamah beristirahat tidur berjajar satu satu diatas tikar.
Di sudut tenda terdengar dari mulut seorang ibu melantunkan ayat-ayat suci al-Quran. Pun terlihat beberapa jamaah tak henti-hentinya berzikir berdoa, bertasbih. Suara itu terdengar jelas, pada batas antara tenda-tenda ketika kulewati.
Aku berjalan pelan-pelan hingga melewati tenda-tenda berbagai negara sambil terus bertasbih, membayangkan Nabi Adam ketika memohon ampunan Allah SWT, atas dosa yang telah diperbuatnya dan diturunkan ke dunia.
Ia pun berjalan sendiri, menunduk, menyesali diri yang bersalah, lalu dengan sayup-sayup suaranya mohon ampunan kepada Allah.
“Rabbana Zhalamna anfusana wa in lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khasirin, ” (Q.S. Al-A’raf:23).
Arafah merupakan momentum terindah sepanjang sejarah kehidupan manusia, mengenang peristiwa itu sangat mengharukan antara kedua nenek moyang manusia.
Beranjak dari filosofi itu, aku berjalan menyusuri Arafah sendirian. Malam itu udara tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas, hanya angin yang berhembus menerpa ihramku. Mulutku tak henti-hentinya bertasbih. Mohon ampunan, Ibarat mengiba-iba pada sang pencipta agar mau memaafkan-ku.
Suaraku parau sudah, tuk memohon, “labaik Allahumma labaik, , .…. “ terus berjalan kaki hingga tenda paling ujung. Di sana terdapat mobil-mobil pribadi, juga beberapa unit mobil ambulance parkir disana.
Ku intip dari dekat ada sejumlah jamaah yang sedang sakit. Aku mengurut dada dan bersyukur, diberi kesehatan. Walau sedang sakit, Wukuf Arafah harus diikuti karena salah satu rukun haji.
Malam itu aku sampai di depan Masjid Namirah. Masjid ini sepi, gelap. Aku melongok, masuk.Tidak terjaga kebersihannya karena tidak dihuni pada hari-hari biasa.
Jam tanganku sudah menunjukkan tepat jam dua belas, kalau waktu Indonesia pukul 4 pagi. Aku harus bergegas kembali ke tendaku beristirahat, menjaga stamina, persiapan melaksanakan wukuf. Wukuf Arafah. Memandang langit, Langit Arafah diterpa deru angin padang pasir, Allah begitu dekat ketika melafazkannya.
Bandung
Eddy Syarif
Tukang Foto Keliling