HUKUM - Banyak kasus perselisihan antara dosen dengan Yayasan Perguruan Tinggi Swasta di mana dosen sering kali berada di posisi yang tidak diuntungkan. Mungkin sudah saatnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) membentuk sebuah lembaga atau bagian advokasi khusus untuk dosen. Selama ini, dosen sering kali tidak tahu harus mengadu ke mana, terutama dalam kasus-kasus seperti penahanan lolos butuh dan surat pemberhentian oleh Yayasan yang diperlukan untuk syarat pindah Kampus.
Beberapa rekan saya yang mengalami hal tersebut telah berbagi pengalaman mereka kepada saya, dan beberapa di antaranya saya sarankan untuk menempuh jalur hukum jika memiliki dana, atau mengadu ke hubungan industrial di Kementerian Ketenagakerjaan. Namun, setelah dipertimbangkan, ini seharusnya menjadi ranah penyelesaian yang ditangani oleh DIKTI, mengingat dosen di Perguruan Tinggi Swasta non-Kementerian Agama berada di bawah pengawasan DIKTI.
Banyak Oknum perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Swasta (PTS), diduga memperlakukan dosen layaknya buruh pabrik, baik dari segi kompensasi, beban kerja, maupun hak-hak lainnya. Mereka tidak menganggap dosen sebagai aset yang harus dirawat.
Saya cukup terkejut ketika salah satu teman bercerita bahwa ketika ia meminta surat rekomendasi dari kampus sebagai syarat pengajuan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), ia diminta untuk menandatangani perjanjian 2N+1 (harus mengabdi dua kali dari masa studi ditambah satu tahun). Jika tidak, ia harus membayar denda beberapa ratus juta rupiah. Ini merupakan kezaliman yang nyata terhadap seorang pendidik.
Baca juga:
Gawat, KPK Membuat Program Desa Antikorupsi
|
Saya bisa memahami jika PTS yang memberikan Beasiswa biaya kuliah dari dana Yayasan untuk studinya menerapkan perjanjian tersebut. Namun, ini adalah BPI, yang merupakan dana dari negara dan seharusnya tersedia untuk setiap warga negara yang memenuhi syarat, termasuk dosen. Sangat disayangkan bahwa perguruan tinggi mencari kesempatan untuk mengambil keuntungan dengan perjanjian yang zalim.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) seharusnya melakukan evaluasi terhadap kampus-kampus yang menerapkan praktik seperti ini. Ada kemungkinan bahwa hibah, beasiswa, dan bantuan lainnya yang seharusnya diberikan kepada warga negara, juga disalahgunakan.
Saya menyampaikan ini berdasarkan banyaknya keluhan dari teman-teman di berbagai kampus, yang menunjukkan bahwa praktik ini cukup luas dan menandakan bahwa selama ini DIKTI kurang dalam pengawasan, serta dosen tidak tahu harus mengadu ke mana.