SULAWESI SELATAN - Anggota Komisi X DPR RI Zainuddin Maliki meminta kerancuan yang terdapat dalam kurikulum yang dibentuk Kemendikbudristek untuk dapat diharmonisasi. Harmonisasi tersebut seperti pada apa yang diberikan kepada siswa, bagaimana cara memberikan ilmu itu kepada siswa, dan bagaimana mengevaluasinya. Menurutnya, jika proses dengan asesmen itu sinkron, akan menghasilkan suatu proses penyelenggaraan pendidikan yang baik.
“Ini harus sinkron, kalau inputnya itu didasarkan kepada prestasi dan lain-lain kemudian prosesnya itu menggunakan konsep authentic learning, maka asesmennya juga harus authentic assessment, ” ujar Zainuddin usai mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi X ke Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (8/4/2022).
Ia menjelaskan, saat ini, ada tiga opsi penggunaan kurikulum yang diberikan kepada sekolah, yakni Kurikulum 2013, kurikulum yang disederhanakan, dan kurikulum prototipe. Diketahui, Kurikulum 2013 (K13) adalah kurikulum yang di-setting assessment-nya itu menggunakan Ujian Nasional. Pada kurikulum 2013 yang disederhanakan pun tak berbeda. Namun dari Kemendikbudristek telah menghapus Ujian Nasional.
“Sehingga yang diselenggarakan adalah Asesmen Nasional (ASN). Nah Asesmen Nasional tidak didesain untuk mengevaluasi Kurikulum K13 atau kurikulum yang disederhanakan. Assessment Nasional itu disiapkan untuk melakukan Asesmen terhadap kurikulum-kurikulum prototipe yang itu baru diterapkan untuk beberapa sekolah saja, ” terang politisi PAN ini.
Sementara Kurikulum Merdeka, lanjut Zainuddin, sebenarnya sebuah strategi pembelajaran yang itu diberikan kebebasan kepada siswa didik, siswa didik itu dianggap sebagai subjek. Namun, dalam praktiknya banyak konsep yang berangkat dari pemerintah pusat, khususnya kementerian. Dan sampai saat ini, menurutnya, konsep merdeka belajar itu masih belum menemukan bentuknya.
“Asumsinya bahwa kalau merdeka belajar, mengansumsikan bahwa siswa didik adalah subjek, siswa didik bukan objek, maka ini sebenarnya konsep yang bagus. Tetapi harus bisa dirumuskan dengan baik, bagaimana mengubah, melakukan transisi yang selama ini siswa bukan diasumsikan sebagai subjek, sisanya dianggap objek. Karena pembelajaran atau metode-metode belajar yang berkembang selama ini, metodenya behavioristik. Behavioristik itu perilaku siswa itu hasil intervensi dari luar, dari guru, dari pemerintah gitu, ” lanjutnya.
Ia pun menilai pergeseran konsep dalam kurikulum saat ini, dari yang sebelumnya dari behavioristik menjadi konstruktivistik itu bukan pekerjaan mudah. Terlebih, dirinya melihat, Mendikbudristek saat ini tetapi belum membaca culture yang ada di satuan-satuan pendidikan, di guru-guru pusat maupun daerah, apalagi di daerah terpencil di saat melakukan berbagai perubahan yang begitu signifikan.“Sehingga kalau boleh kami menyarankan, kalau melakukan perubahan jangan lah perubahan-perubahan yang sifatnya drastis, kemudian tidak membayangkan atau tidak memperhitungkan struktur birokrasi pendidikan yang begitu besar, ” saran politisi dapil Jawa Timur X tersebut.
Ia berpendapat, kajian kurikulum saat ini masih memerlukan waktu kajian yang mendalam, dengan mengajak stakeholder, terutama stakeholder yang selama ini sudah berbuat banyak di dunia pendidikan. Meski menteri dan jajarannya itu sudah melakukan dialog dengan para stakeholder, dirinya menilai beberapa penyelenggara pendidikan, asosiasi penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat yang selama ini sudah banyak berbuat kebajikan di bidang pendidikan, masih banyak mengeluhkannya.
“Oleh karena itu kami di komisi X mempertanyakan sesungguhnya dialog yang katanya sudah dilakukan oleh menteri itu seperti apa, kok masih ada penyelenggara pendidikan yang mereka itu sudah berbuat sejak indonesia belum merdeka masih mengeluhkan beberapa hal terkait dengan kurikulum dan penyelenggaraan pendidikan yang lain termasuk rekrutmen PPPK, ” tutupnya.