OPINI - Koalisi Indonesia Bersatu atau yang lebih dikenal dengan KIB masih ada atau tidak? Ini yang menjadi pertanyaan publik selama ini. Yang pasti belum ada pembubaran. Koalisi yang konon dibentuk atas perintah Sang Dalang ini terdiri dari Golkar, PAN dan PPP. Lahir paling awal dan hingga hari ini belum deklarasi capres. Namun, publik dikejutkan ketika PPP mendeklarasikan diri untuk bergabung dengan PDIP mengusung Ganjar. PPP sendirian? Nampaknya begitu. Sementara PAN sedang bermanuver ke Gerindra, membawa nama Erick Thohir untuk jadi cawapes Prabowo. Apakah ini artinya KIB bubar? Belum jelas juga. Terus dan bubarnya tetap harus menunggu petunjuk Sang Dalang.
Sementara Golkar masih lontang lantung. Merasa ditinggalkan? Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Boleh jadi Golkar diberi tugas untuk melakukan manuver ke Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP).
Golkar tidak bisa apa-apa kalau semua sekenario ini atas perintah Sang Dalang. Di hadapan Sang Dalang, tidak ada partai koalisi yang bisa mengurus takdirnya sendiri. Inilah yang disebut dengan loyalitas. Mungkin lebih dari itu.
KIB tidak kokoh sejak kelahirannya. Sebab, bukan tiga partai anggota koalisi yang menjadi penentu nasib mereka. Mereka bekerja sesuai petunjuk. Tidak hanya KIB, Koalisi Indonesia Raya (KIR) yang beranggotakan Gerindra dan PKB pun ikut petunjuk. Cerita Prof. Denny Indrayana sepertinya telah dipercaya publik. Bahwa semuanya ikuti petunjuk Sang Dalang. Buktinya? Carita itu viral. Publik yang menviralkan. Anggota parpol punya mau, tapi kalau kemauan itu tidak direstui oleh Sang Dalang, mereka bisa apa? Ini bagian dari konsekuensi loyalitas. Harus total! Harus YES. Tidak ada kata NO.
Situasi politik saat ini memang tidak biasa. Variabel-variabelnya tidak bebas. Semua ditentukan Sang Dalang. Anda akan keliru kalau membaca politik hari ini dengan kaca mata dan analisis normal. Sebab, penentu permainan bukan para parpol. Sekali lagi, bukan. Mereka tidak punya pilihan kecuali mengikuti petunjuk dan skenario Sang Dalang. Inilah loyalitas total.
Jika anda ingin membaca politik hari ini, bacalah sekenario Sang Dalang. Apa mau dan yang dikehendaki Sang Dalang, itu bisa menjadi petunjuk untuk membuat analisis politik.
Misalnya, Sang Dalang inginnya dua pasang capres di 2024. Maka, anda harus menganalisis sebesar apa kemampuan pihak lain, baik oposisi maupun pihak yang tidak setuju dengan langkah politik Sang Dalang untuk menghadangnya. Analisis politik fokus ke obyek adu kuat ini. Siapa paling kuat, di situlah eksekusi politik terjadi.
Kalau Sang Dalang lebih kuat, maka ini akan terjadi. Kalau pihak yang menentang lebih kuat, maka gagasan itu dipending untuk kemudian muncul kembali di waktu yang tepat. Setelah itu, adu kuat lagi. Kata Ibnu Khaldun, Bapak perintis ilmu sosiologi paling awal, pemenang adalah yang paling kuat. Bukan paling baik.
Cerita ini juga berlaku untuk gagasan tiga periode, tunda pemilu, dan terakhir capres dua pasang. Nah, jika anda ingin tahu bagaimana dinamika pilpres 2024, baca kekuatan yang berhadapan antara Sang Dalang dengan lawan-lawan politiknya.
Ada yang bertanya: bagaimana nasib Anies Baswedan? Akankah ia dapat nyapres? Jawabnya ada pada adu kuat antara Sang Dalang dengan SBY. Tidak bisa keluar dari jalur ini. Karena ini yang tersisa. Sedangkan Nasdem dan PKS aman. Keduanya konsisten dan berada di garda terdepan pengusung Anies. Terutama Nasdem yang berani ambil risiko sejak awal deklarasi Anies.
Saat ini, sedang berproses "pencaplokan Partai Demokrat". Kalau SBY tidak cukup kuat untuk mempertahankan partainya, ya SBY wassalam. Ini akan mempengaruhi pencapresan Anies.
Tidak otomatis Anies gagal. Tapi, untuk mencari pengganti Demokrat, itu tidak mudah. Sang Dalang tahu bagaimana gagasan dua pasang capres itu bisa terlaksana. Maka, Anies harus gagal. Gagal dengan cara dijegal. Dan Sang Dalang tahu bagaimana cara menjegalnya. Kisruh di KPK juga dianggap publik bagian dari skenario dua paslon, dengan menjegal Anies. Sepertinya, sekenarionya tidak mulus.
Jika ternyata skenario dua paslon gagal, dan Anies tetap maju di pilpres? Maka, dinamikanya bisa jadi hampir mirip dengan pilgub DKI 2017 dan pilpres 2019. Akan muncul begitu banyak oknum yang ikut "ngrusuhi" pemilu. Tahu-tahu ada TPS yang semua pemilihnya coblos satu paslon. Yang lain gak dapat satu suara pun. Marak money politics, berhamburan sembako bertruk-truk, dan yang agak ngeri kalau ada yang melakukan intimidasi. Situasi bisa terbelah dan sangat gaduh. Ironis memang. Tentu, kita semua tidak menginginkan hal itu.
Idealnya, pemilu itu fair play, transparan, aman dan adem ayem, semua memikmati dan bergembira, berjalan secara normal sesuai ketentuan hukum yang berlaku, KPU dan Bawaslu bersikap netral dan adil. Itu mah harapannya. Tapi, fakta di lapangan seringkali memang jauh dari harapan. Tanda-tanda ke arah itu nampaknya semakin menakutkan. Gak asik...
Purwokerto, 4 Mei 2023
Baca juga:
Tony Rosyid: Berebut Warga NU
|
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa