OPINI - Etika adalah tempat hukum ditemukan, dan itu berawal dari nilai, asas dan norma. Dalam konteks tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika jauh di atas hukum. Pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum.
Sebagai contoh, adanya intervensi yang meloloskan Gibran oleh paman Anwar Usman/Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), tentang Pasal batas usia 40 capres-cawapres dirombak, “Minimal berusia 40 dan pernah berpengalaman sebagai kepala daerah, ” dalam bunyi revisi Pasal 169 UU No. 7/2017.
Dari putusan itu, di bentuk MKMK, dan bersidang menyatakan bahwa Ketua MK/Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, yakni prinsip tidak berpihak/kesataraan, integritas, independensi dan prinsip kepantasan.
Dengan putusan MK No. 90/PUU-XXI itu, /2023, Gibran lolos sebagai bakal Cawapres yang saat ini menjabat Wali Kota Solo. Gibran adalah putra sulung Presiden, sementara Anwar Usman adalah adik ipar Presiden Jokowi, yang berarti paman dari Gibran.
Seseorang yang sudah jelas dan nyata bersalah melanggar etika, tidak dapat dibebaskan begitu saja karena prosedur formal hukumnya yang tidak memadai. Hal ini karena ketakmampuan penegak hukum di Peradilan untuk menghukum orang-orang yang memiliki power, karena berkuasa ataupun memiliki banyak uang. Berulang kali kita harus menyaksikan oknum-oknum korup yang melenggang bebas dari jeratan hukum, bahkan semakin kokoh di puncak karier politiknya, padahal jelas dan nyata sekali melakukan pelanggaran etik adalah melanggar hukum juga.
Kepemimpinan di semua lapisan cenderung hanya berorientasi pada materi dan mencari popularitas, sebagai akibat dari politik yang menghalalkan segala cara. Hal ini menyebabkan timbulnya kecemburuan sosial yang tinggi antara rakyat dan yang memiliki kekuasaan. Mereka elit mengklaim mendapat dukungan rakyat yang tecermin di media massa maupun survey, padahal itu tidaklah tepat, tetapi itu dijadikan ukuran popularitas keterpilihan, dan itu menjadi tindakan nyata yang memengaruhi dinamika kehidupan rakyat.
Pelanggaran etik biasanya memiliki implikasi setara dengan pelanggaran hukum. Contoh nyata seperti di Jepang, banyak pejabat negara di negeri itu yang memilih mengundurkan diri dari jabatannya karena terbukti atau bahkan baru diduga melakukan pelanggaran etik. Hal ini harus kita lihat sebagai penghormatan mereka terhadap martabat kemanusiaannya, yang lebih dihargai daripada jabatan semata.
Namun, ini tidak berlaku di Indonesia, seorang pejabat negara hanya akan meninggalkan jabatannya jika menurut hukum/UU dan peraturan yang ada dia harus diberhentikan. Oknum tidak berpengaruh pada seberat apa pelanggaran etik yang dia lakukan atau seberapa banyak ia melakukan pelanggaran etik, jika dalam aturan tidak secara jelas menyatakan dia harus diberhentikan, selama itu juga dia tidak akan berhenti.
Meskipun telah berkali-kali melakukan pelanggaran etik yang secara substansi sangat berat, ia tetap memilih mempertahankan jabatannya daripada derajat kemanusiaannya.
Ketentuan ini telah mencampuradukkan penegakan hukum dan penegakan etik secara keliru. Padahal keduanya saling berkaitan, sebab pelanggaran etik patokannya sanksi sosial dari masyarakat luas, dan hilangnya derajat kemanusiannya yang berdampak pada tindakannya cacat secara hukum. Sedangkan penegakan hukum sepenuhnya merupakan kewenangan aparat penegak hukum dalam kekuasaan Peradilan/Yudikatif.
Meskipun telah berkali-kali melakukan pelanggaran etik yang secara substansi sangat berat, ia tetap memilih mempertahankan jabatannya daripada menjaga derajat kemanusiaannya.
Ketentuan ini telah mencampuradukkan penegakan hukum dan penegakan etik secara keliru. Padahal keduanya saling berkaitan, sebab pelanggaran etik patokannya sanksi sosial dari masyarakat luas, dan hilangnya derajat kemanusiannya yang berdampak pada tindakannya yang cacat secara hukum.
Tangsel, 11 November 2023
Dahlan Pido, SH., MH.
Praktisi Hukum/Advokat Senior